SuaraIntelijen.com.Bitung,Di balik gemerlap produksi emas di Bitung, pelanggaran hukum yang serius mengancam reputasi PT Meares Soputan Mining (MSM) dan PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN), anak perusahaan PT Archi Indonesia milik taipan Peter Sondakh. Perusahaan – perusahaan ini dituduh secara ilegal mengambil alih tanah milik warga setempat, Keluarga Herman Loloh, mempertanyakan akuntabilitas korporasi dan penegakan hukum di sektor pertambangan Indonesia.
Perusahaan selama ini mengklaim bahwa tanah tersebut dibeli secara sah dari Devie Ondang. Namun, laporan Badan Pertanahan Nasional (BPN) (No. 117/BA.71.72.IP.02.02/IV/2025) yang diperoleh Polres Bitung meruntuhkan klaim ini. Dokumen tersebut menyimpulkan bahwa “lokasi tanah Devie Ondang (SHM No. 157) tidak dapat dipetakan”, sehingga menggugurkan klaim kepemilikan legal perusahaan.
Fakta ini terungkap dalam rapat penting pada 15 Mei 2025 di Markas Polda Sulut, dihadiri keluarga Loloh, penyidik, pejabat BPN, dan manajemen tambang. Anshar Wirawan, Kasie Survei dan Pemetaan BPN Bitung, menegaskan bahwa tanah Herman Loloh (SHM 135–136) tidak tumpang tindih dengan SHM 157 yang disengketakan, bahkan “berjarak sangat jauh.”
Robby Supit, selaku kuasa keluarga Loloh, memberikan peringatan tegas, “Perusahaan telah menambang di tanah yang bukan milik Devie Ondang, apalagi milik PT MSM-TTN. Jika mereka tidak memberikan ganti rugi, mereka bisa dikenakan tuntutan pidana berdasarkan :
1. Pasal 385 KUHP: Penyerobotan tanah (hukuman 2–4 tahun penjara).
2. Pasal 263 KUHP: Pemalsuan dokumen (6 tahun penjara, jika SHM 157 terbukti palsu).
3. Pasal 45 KUHP Baru (UU 1/2023) & PERMA 13/2016: Pertanggungjawaban pidana korporasi mencakup manajemen.”
Supit menekankan bahwa berdasarkan Pasal 55 KUHP, siapa pun yang memberi perintah atau terlibat dalam pelanggaran juga bisa dipidana, membuat direksi PT MSM-TTN, termasuk Direktur Utama David Sompie, terancam jerat hukum.
Jonson Wullur, Panglima Komando Permesta Sulut, mengkritik keras kelambanan Polres Bitung dan menuntut:
1. Penghentian segera operasi tambang di tanah sengketa.
2. Pemasangan police line untuk menghentikan aktivitas lebih lanjut.
3. Perluasan tersangka untuk mencakup Devie Ondang, PT MSM-TTN, dan jajaran direksinya serta memperingatkan bahwa penundaan bisa dianggap menghalangi proses hukum.
“Jika emas Bitung berkilau, penegakan hukum harus lebih bersinar,” tegas Wullur, menduga aparat lebih memihak kepentingan korporasi daripada keadilan.
Kasus ini menyoroti tantangan Indonesia dalam menegakkan hukum lingkungan dan hak atas tanah melawan konglomerat tambang yang kuat. Dengan pertanggungjawaban pidana korporasi kini menjadi sorotan, hasil kasus ini bisa menjadi preseden untuk menuntut eksekutif yang terlibat dalam perampasan tanah ilegal.
Sementara penyelidikan berlanjut, semua mata tertuju pada Polres Bitung apakah mereka akan menegakkan hukum atau tunduk pada tekanan korporasi? Untuk saat ini, masyarakat Bitung menunggu, berharap keadilan akan lebih bersinar daripada emas di bawah tanah mereka.
Red